Hadirnya buah hati dalam suatu pernikahan merupakan hal yang diimpikan oleh beberapa pasangan. Namun saat putusan perceraian suami istri, anak jualah yang menjadi korban. Hingga banyak kasus terjadi perebutan hak asuh anak.
Dilansir dalam Jurnal Cendekia Hukum, secara yuridis, anak memiliki kedudukan dalam perkawinan yang telah diatur dalam
1. Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memuat ketentuan definitif bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
2. Kemudian, menurut ketentuan limitatif dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ini berarti bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) memuat ketentuan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban tersebut berlaku hingga anak tersebut sudah menikah maupun dapat berdiri sendiri, kewajiban tetap berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua tidak terjalin lagi. Menurut Pasal 229 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pengadilan menentukan wali anak di bawah umur. Apabila pihak yang diserahkan sebagai wali kurang mampu membiayakan pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut pasal 230 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka hakim dapat menentukan jumlah uang yang harus dibayar pihak yang lain untuk membiayai anak yang di bawah umur.
Dikutip dari Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 1 karya Reza Maulana, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa anak dibawah usia 18 tahun berada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Oleh sebab itu, selama orang tua tidak dicabut kekuasaannya, mereka mempunyai hak asuh anak yang sama di muka pengadilan untuk mengasuh dan mendidik anaknya tanpa dipisah-pisahkan hak asuhnya.
VALMAI ALZENA KARLA